“Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan”
Begitulah sepenggal
kalimat yang dikutip dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat yang mengatur
tentang pendidikan bagi warga Negara Indonesia. Pendidikan pada hakikatnya
merupakan kewajiban yang harus diterima oleh seluruh warga negara Indonesia
dengan manfaat untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat di kemudian hari.
Sejauh ini pemerintah berupaya untuk
melaksanakan program yang diamanatkan oleh UUD 1945. Pada ayatnya yang keempat
dalam pasal tersebut diatur pula bahwa sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran
Belanja dan Pendapatan Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Berdasarkan ayat ini pula diketahui bahwa peran pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan tidak sebatas tugas pemerintah pusat saja melainkan
peran pemerintah daerah juga dituntut untuk berpartisipasi.
Terkait hal tersebut
pemerintah Papua sejauh ini pun juga sudah turut serta melaksanakan amanat
tersebut. Aturan khusus bagi pemerintah Papua untuk menggalakkan pendidikan
tertuang dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua yang menyatakan “Setiap penduduk berhak memperoleh pendidikan
yang bermutu dengan beban masyarakat yang serendah-rendahnya”. Gejolak-gejolak
yang selama ini mempertanyakan kualitas pendidikan orang-orang di tanah Papua
yang dianggap masih dibawah kualitas wilayah lain di Indonesia mulai berkurang
seiring dengan fokus pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang mulai
memperbaiki sistem pendidikan dan penataan fasilitas yang menunjang peningkatan
standar mutu pendidikan di tanah Papua. Dana Otonomi Khusus yang dilimpahkan
setiap tahunnya menjadi senjata ampuh pemerintah daerah untuk meningkatkan
kualitas pendidikan. Berbagai tawaran beasiswa baik dari dalam maupun luar
negeri pun ditawarkan kepada putra-putri Papua untuk menikmati pendidikan yang
lebih tinggi sekaligus meningkatkan derajat kehidupan kedepannya.
Sejak tahun 2012, salah
satu wujud program dari beasiswa tersebut adalah beasiswa Afirmasi Dikti Papua
(ADIK Papua) yang merupakan kerjasama pemerintah Papua dengan Direktorat
Jenderal Perguruan Tinggi. Program ini digagas oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono melalui Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (P4B) dan Pepres Nomor 66 Tahun 2011
tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua (UP4B).
UP4B adalah lembaga setingkat menteri yang mengurusi program perencanaan
pembangunan termasuk didalamnya memfasilitasi tersedianya kuota bagi putra-putri
Papua untuk program beasiswa ADIK Papua. Beasiswa ini memberikan kesempatan
bagi calon mahasiswa/I Papua untuk disebar ke 32 Perguruan Tinggi Negeri (sejak
tahun 2013 menjadi 39) di luar Papua yang ada di Indonesia. Adapun syarat
pendaftaran beasiswa ini tidak terlalu rumit. Cukup dengan menunjukkan nilai
raport dari semester 1-6 dan nilai ijazah minimal 6,5 kemudian mengikuti test
tertulis di masing-masing kabupaten/kota dan yang lulus kemudin akan dikirim ke
Jayapura untuk mengikuti materi pembekalan yang dibawakan oleh pemerintah Papua
dan perwakilan tiap-tiap Universitas.
Untuk lokasi di kawasan
timur Indonesia, Makassar merupakan salah satu destinasi edukasi favorit para
penerima ADIK Papua. Saya sebagai mahasiswa yang sebagian waktunya menghabiskan
kehidupan di tanah Papua merasa senang ketika melihat putra-putri asli Papua
mulai menampakkan diri di lingkungan kampus yang ada di Makassar. Total sebanyak 35 orang yang mendapatkan
kesempatan menjadi angkatan pertama
penerima ADIK Papua 2012 di 2 PTN yang ada di Makassar yaitu di Universitas
Hasanuddin (Unhas) dan Universitas Negeri Makassar (UNM). Namun sayangnya
hingga tahun 2015 ini, penerima ADIK Papua di kota Makassar mulai “berguguran”
dan harus diDrop-Out dari kampusnya
satu per satu. Menurut informasi yang saya peroleh dari Ketua Ikatan Mahasiswa
Papua (IMP) Makassar untuk kampus Unhas-UNM yang mengorganisir para penerima
ADIK PAPUA, Kristian Degei, mengatakan bahwa angkatan pertama yang ada tersisa
6 orang yang aktif berkuliah dan sebagai penerima beasiswa. Mahasiswa asal
Nabire ini juga menyayangkan bahwa tidak hanya angkataan 2012 saja yang mulai
berkurang, angkatan 2013 pun banyak yang terkena evaluasi Drop-Out (DO) 4 semester dari masing-masing kampus, bahkan angkatan
2014 yang baru aktif setahun berkuliah mulai menampakkan gejala-gejala yang
sama seperti para seniornya.
Dari beberapa pantauan
yang saya lihat selama ini, saya beranggapan kalau kejadian ini disebabkan
karena beberapa mahasiswa tersebut kurang mampu beradaptasi dengan baik
terhadap lingkungan barunya sehingga menyebabkan shock-culture bagi mereka. Di
beberapa fakultas yang mereka tempati, kelihatan bahwa mereka masih kurang
terbuka untuk bersosialisasi dengan mahasiswa lain sehingga seringkali mereka
kurang aktif dalam perkuliahan dan lebih sering untuk tinggal di asrama bermain
bersama kawan-kawan dari Papua. Untuk membuktikan hal tersebut, saya mencoba
berbagi informasi dengan ketua IMP Makassar dan beberapa teman-teman Papua. Hal
yang pertama saya tanyakan adalah mengapa memilih Makassar sebagai tempat
menuntut ilmu bila dibandingkan kota-kota lain. Sebagian besar menjawab bahwa
pada saat memilih lokasi, mereka beranggapan bahwa tidak akan mengalami
kesulitan untuk beradaptasi di Makassar lagi mengingat mereka pun sudah
terbiasa bergaul dengan orang-orang yang berasal dari Toraja, Bugis, Makassar
di daerah mereka masing-masing. Kemudian transportasi untuk kembali ke daerah
juga tidak terlalu memakan banyak biaya karena Makassar sudah dikenal sebagai
pintu gerbang Indonesia Timur sehingga akses dari Makassar menuju daerah-daerah
di Papua sangat lancar. Kemudian saya mencoba mencari alasan mengapa banyak
mahasiswa/i Papua yang akhirnya DO dari kampusnya dan apa yang kira-kira
menyebabkan hal itu. Alasan yang saya peroleh dari mereka menunjukkan bahwa
kejadian tersebut muncul dari internal mahasiswa itu sendiri dan beberapa faktor
eksternal.
Saya merangkum
faktor-faktor tersebut menjadi dua poin utama yang kemudian dijabarkan dibawah
ini:
1.
Faktor Mahasiswa dan Lingkungan Sekitar
-
Tidak sedikit dari mahasiswa/i mengalami
gejala homesick ketika harus
membiasakan dirinya hidup di tempat yang baru. Beberapa dari mereka bahkan ada
yang langsung pulang kampung untuk “berlibur” sejenak padahal perkulihan masih
berlangsung. Parahnya lagi bahkan ada yang tidak kembali lagi untuk meneruskan
perkuliahan dan memilih pindah ke kampus yang ada di Papua
-
Beberapa teman-teman menyoroti kebiasaan
buruk teman-teman lain yang dibawa dari rumah seperti minum-minum sebagai penyebab
mereka kurang bisa mengendalikan diri dengan baik.
-
Beberapa teman-teman Papua kesulitan
untuk bergaul dengan masyarakat Makassar. Walaupun sebelumnya ada alasan bahwa
mereka sudah akrab dengan orang-orang Sulsel yang sudah beradaptasi di daerah
mereka, namun kali ini mereka yang harus beradaptasi dengan kultur dan budaya
sulsel sehingga timbulah shock-culture
bagi teman-teman Papua. Hal ini menyebabkan mereka merasa kesulitan bergul dan
tidak kerasan karena jauh dari ekspektasi mereka sebelum menjejakkan kaki di
Makassar.
-
Terakhir, menurut alasan dari beberapa
teman-teman bahwa ada sebagian dari penerima ADIK Papua ditempatkan pada
jurusan yang tidak sesuai dengan pilihan yang diambil pada saat mendaftarkan
beasiswa sehingga mereka kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan perkuliahan,
terlebih lagi bagi mereka yang memiliki jurusan yang sangat jauh kaitannya
dengan jurusan yang mereka ambil saat masih bersekolah. Kejadian ini tidak
sepenuhnya menjadi kesalahan mereka karena pihak pemerintah dan pengelola
beasiswa pun ikut terkait didalamnya.
2.
Faktor Pemerintah dan Pengelola Beasiswa
Sejak dibukanya
penerimaan angkatan pertama beasiswa ADIK Papua, ada beberapa perubahan yang
dilakukan guna meningkatkan mutu beasiswa tersebut. Menurut ketua IMP Makassar,
Kristian Degei, beberapa perbaikan tersebut mencakup peningkatan standar nilai
ijazah dan pelaksanaan ujian di masing-masing kabupaten/kota. Namun sayangnya
kurangnya sosialisasi mengenai jurusan-jurusan yang ditawarkan oleh beasiswa
ini seringkali mengakibatkan calon mahasiswa/i terpaksa keliru mengambil
jurusan yang tidak sesuai keinginan mereka. Hal ini mengakibatkan para mahasiswa/i
ini kesulitan untuk mempelajari ilmu yang masih baru sehingga seringkali
terhambat dalam proses akademik. Lanjut Kristian, kali ini sedikit menyinggung
peran tiap pemerintah daerah, kendala lain yang dihadapi adalah biaya hidup
yang dijanjikan untuk memenuhi kebutuhan para mahasiswa/i sering tidak
dikirimkan. Jumlah yang dijanjikan tiap bulan sebesar Rp1.000.000/orang yang
menjadi tanggungan tiap pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap masing-masing
utusannya dan Rp500.000/orang yang menjadi tanggungan pemerintah provinsi.
Namun sayangnya mahasiswa/i ini sebagian besar hanya mengandalkan biaya yang
diberikan oleh keluarga masing-masing dan yang dikeluarkan oleh DIKTI sebesar
Rp1.000.000 dimana biaya itu merupakan biaya tempat tinggal atau pemondokan dan
perlengkapan untuk menunjang akademik. Mungkin sebagian mereka yang pulang
beranggapan hal itu sangat mengganggu mengingat kebutuhan mereka tidak hanya
menyangkut persoalan kebutuhan akademik tetapi juga kebutuhan-kebutuhan lain
seperti refreshing, konsumsi pangan, dan kegiatan-kegiatan diluar akademik yang
menunjang pengembangan diri mereka. Mereka pun akhirnya memilih untuk tidak
terlalu banyak beraktivitas diluar dan menghabiskan waktu hanya di asrama.
Dari berbagai
permasalahan yang dijabarkan diatas, saya dan teman-teman yang berasal dari
Papua berharap agar kejadian ini menjadi perhatian bagi pemerintah, khususnya
UP4B yang dibawahi pemerintah pusat selaku penyelenggara program ini dan
pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat. Program ini pada dasarnya berguna
untuk meningkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan msyarakat Papua
kedepannya. Akan sangat disayangkan apabila benih-benih yang ditabur ini pada
layu sebelum mekar hanya karena persoalan-persoalan yang sebenarnya bisa
diantisipasi sejak dini. Persoalan ini mungkin tidak hanya terjadi di Makassar
saja namun kiranya tulisan ini dapat memberikan informasi bagaimana fakta di
lapangan berbicara dan bagaimana curahan teman-teman ADIK Papua yang sedih
melihat teman-teman lainnya harus meninggalkan mereka. Pesan khusus kepada para
penerima ADIK Papua untuk tetap semangat menghadapi segala tantangan yang ada
dengan mengedepankan tujuan bahwa mereka adalah utusan-utusan yang terpilih
untuk memajukan tanah Papua tercinta. Tuhan menyertai kalian.
Gabriel Clinton M.
(Penulis merupakan mahasiswa
Akuntansi Universitas Hasanuddin)