Jumat, 25 September 2015

SAYAP-SAYAP PATAH SANG CENDRAWASIH DI TANAH PARA DAENG

“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”

Begitulah sepenggal kalimat yang dikutip dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat yang mengatur tentang pendidikan bagi warga Negara Indonesia. Pendidikan pada hakikatnya merupakan kewajiban yang harus diterima oleh seluruh warga negara Indonesia dengan manfaat untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat di kemudian hari.  Sejauh ini pemerintah berupaya untuk melaksanakan program yang diamanatkan oleh UUD 1945. Pada ayatnya yang keempat dalam pasal tersebut diatur pula bahwa sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Berdasarkan ayat ini pula diketahui bahwa peran pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tidak sebatas tugas pemerintah pusat saja melainkan peran pemerintah daerah juga dituntut untuk berpartisipasi.
Terkait hal tersebut pemerintah Papua sejauh ini pun juga sudah turut serta melaksanakan amanat tersebut. Aturan khusus bagi pemerintah Papua untuk menggalakkan pendidikan tertuang dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang menyatakan  “Setiap penduduk berhak memperoleh pendidikan yang bermutu dengan beban masyarakat yang serendah-rendahnya”. Gejolak-gejolak yang selama ini mempertanyakan kualitas pendidikan orang-orang di tanah Papua yang dianggap masih dibawah kualitas wilayah lain di Indonesia mulai berkurang seiring dengan fokus pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang mulai memperbaiki sistem pendidikan dan penataan fasilitas yang menunjang peningkatan standar mutu pendidikan di tanah Papua. Dana Otonomi Khusus yang dilimpahkan setiap tahunnya menjadi senjata ampuh pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Berbagai tawaran beasiswa baik dari dalam maupun luar negeri pun ditawarkan kepada putra-putri Papua untuk menikmati pendidikan yang lebih tinggi sekaligus meningkatkan derajat kehidupan kedepannya.
Sejak tahun 2012, salah satu wujud program dari beasiswa tersebut adalah beasiswa Afirmasi Dikti Papua (ADIK Papua) yang merupakan kerjasama pemerintah Papua dengan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi. Program ini digagas oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (P4B) dan Pepres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua (UP4B). UP4B adalah lembaga setingkat menteri yang mengurusi program perencanaan pembangunan termasuk didalamnya memfasilitasi tersedianya kuota bagi putra-putri Papua untuk program beasiswa ADIK Papua. Beasiswa ini memberikan kesempatan bagi calon mahasiswa/I Papua untuk disebar ke 32 Perguruan Tinggi Negeri (sejak tahun 2013 menjadi 39) di luar Papua yang ada di Indonesia. Adapun syarat pendaftaran beasiswa ini tidak terlalu rumit. Cukup dengan menunjukkan nilai raport dari semester 1-6 dan nilai ijazah minimal 6,5 kemudian mengikuti test tertulis di masing-masing kabupaten/kota dan yang lulus kemudin akan dikirim ke Jayapura untuk mengikuti materi pembekalan yang dibawakan oleh pemerintah Papua dan perwakilan tiap-tiap Universitas.
Untuk lokasi di kawasan timur Indonesia, Makassar merupakan salah satu destinasi edukasi favorit para penerima ADIK Papua. Saya sebagai mahasiswa yang sebagian waktunya menghabiskan kehidupan di tanah Papua merasa senang ketika melihat putra-putri asli Papua mulai menampakkan diri di lingkungan kampus yang ada di Makassar.  Total sebanyak 35 orang yang mendapatkan kesempatan  menjadi angkatan pertama penerima ADIK Papua 2012 di 2 PTN yang ada di Makassar yaitu di Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Universitas Negeri Makassar (UNM). Namun sayangnya hingga tahun 2015 ini, penerima ADIK Papua di kota Makassar mulai “berguguran” dan harus diDrop-Out dari kampusnya satu per satu. Menurut informasi yang saya peroleh dari Ketua Ikatan Mahasiswa Papua (IMP) Makassar untuk kampus Unhas-UNM yang mengorganisir para penerima ADIK PAPUA, Kristian Degei, mengatakan bahwa angkatan pertama yang ada tersisa 6 orang yang aktif berkuliah dan sebagai penerima beasiswa. Mahasiswa asal Nabire ini juga menyayangkan bahwa tidak hanya angkataan 2012 saja yang mulai berkurang, angkatan 2013 pun banyak yang terkena evaluasi Drop-Out (DO) 4 semester dari masing-masing kampus, bahkan angkatan 2014 yang baru aktif setahun berkuliah mulai menampakkan gejala-gejala yang sama seperti para seniornya.
Dari beberapa pantauan yang saya lihat selama ini, saya beranggapan kalau kejadian ini disebabkan karena beberapa mahasiswa tersebut kurang mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan barunya sehingga menyebabkan shock-culture bagi mereka. Di beberapa fakultas yang mereka tempati, kelihatan bahwa mereka masih kurang terbuka untuk bersosialisasi dengan mahasiswa lain sehingga seringkali mereka kurang aktif dalam perkuliahan dan lebih sering untuk tinggal di asrama bermain bersama kawan-kawan dari Papua. Untuk membuktikan hal tersebut, saya mencoba berbagi informasi dengan ketua IMP Makassar dan beberapa teman-teman Papua. Hal yang pertama saya tanyakan adalah mengapa memilih Makassar sebagai tempat menuntut ilmu bila dibandingkan kota-kota lain. Sebagian besar menjawab bahwa pada saat memilih lokasi, mereka beranggapan bahwa tidak akan mengalami kesulitan untuk beradaptasi di Makassar lagi mengingat mereka pun sudah terbiasa bergaul dengan orang-orang yang berasal dari Toraja, Bugis, Makassar di daerah mereka masing-masing. Kemudian transportasi untuk kembali ke daerah juga tidak terlalu memakan banyak biaya karena Makassar sudah dikenal sebagai pintu gerbang Indonesia Timur sehingga akses dari Makassar menuju daerah-daerah di Papua sangat lancar. Kemudian saya mencoba mencari alasan mengapa banyak mahasiswa/i Papua yang akhirnya DO dari kampusnya dan apa yang kira-kira menyebabkan hal itu. Alasan yang saya peroleh dari mereka menunjukkan bahwa kejadian tersebut muncul dari internal mahasiswa itu sendiri dan beberapa faktor eksternal.
Saya merangkum faktor-faktor tersebut menjadi dua poin utama yang kemudian dijabarkan dibawah ini:
1.      Faktor Mahasiswa dan Lingkungan Sekitar
-          Tidak sedikit dari mahasiswa/i mengalami gejala homesick ketika harus membiasakan dirinya hidup di tempat yang baru. Beberapa dari mereka bahkan ada yang langsung pulang kampung untuk “berlibur” sejenak padahal perkulihan masih berlangsung. Parahnya lagi bahkan ada yang tidak kembali lagi untuk meneruskan perkuliahan dan memilih pindah ke kampus yang ada di Papua
-          Beberapa teman-teman menyoroti kebiasaan buruk teman-teman lain yang dibawa dari rumah seperti minum-minum sebagai penyebab mereka kurang bisa mengendalikan diri dengan baik.
-          Beberapa teman-teman Papua kesulitan untuk bergaul dengan masyarakat Makassar. Walaupun sebelumnya ada alasan bahwa mereka sudah akrab dengan orang-orang Sulsel yang sudah beradaptasi di daerah mereka, namun kali ini mereka yang harus beradaptasi dengan kultur dan budaya sulsel sehingga timbulah shock-culture bagi teman-teman Papua. Hal ini menyebabkan mereka merasa kesulitan bergul dan tidak kerasan karena jauh dari ekspektasi mereka sebelum menjejakkan kaki di Makassar.
-          Terakhir, menurut alasan dari beberapa teman-teman bahwa ada sebagian dari penerima ADIK Papua ditempatkan pada jurusan yang tidak sesuai dengan pilihan yang diambil pada saat mendaftarkan beasiswa sehingga mereka kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan perkuliahan, terlebih lagi bagi mereka yang memiliki jurusan yang sangat jauh kaitannya dengan jurusan yang mereka ambil saat masih bersekolah. Kejadian ini tidak sepenuhnya menjadi kesalahan mereka karena pihak pemerintah dan pengelola beasiswa pun ikut terkait didalamnya.
2.      Faktor Pemerintah dan Pengelola Beasiswa
Sejak dibukanya penerimaan angkatan pertama beasiswa ADIK Papua, ada beberapa perubahan yang dilakukan guna meningkatkan mutu beasiswa tersebut. Menurut ketua IMP Makassar, Kristian Degei, beberapa perbaikan tersebut mencakup peningkatan standar nilai ijazah dan pelaksanaan ujian di masing-masing kabupaten/kota. Namun sayangnya kurangnya sosialisasi mengenai jurusan-jurusan yang ditawarkan oleh beasiswa ini seringkali mengakibatkan calon mahasiswa/i terpaksa keliru mengambil jurusan yang tidak sesuai keinginan mereka. Hal ini mengakibatkan para mahasiswa/i ini kesulitan untuk mempelajari ilmu yang masih baru sehingga seringkali terhambat dalam proses akademik. Lanjut Kristian, kali ini sedikit menyinggung peran tiap pemerintah daerah, kendala lain yang dihadapi adalah biaya hidup yang dijanjikan untuk memenuhi kebutuhan para mahasiswa/i sering tidak dikirimkan. Jumlah yang dijanjikan tiap bulan sebesar Rp1.000.000/orang yang menjadi tanggungan tiap pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap masing-masing utusannya dan Rp500.000/orang yang menjadi tanggungan pemerintah provinsi. Namun sayangnya mahasiswa/i ini sebagian besar hanya mengandalkan biaya yang diberikan oleh keluarga masing-masing dan yang dikeluarkan oleh DIKTI sebesar Rp1.000.000 dimana biaya itu merupakan biaya tempat tinggal atau pemondokan dan perlengkapan untuk menunjang akademik. Mungkin sebagian mereka yang pulang beranggapan hal itu sangat mengganggu mengingat kebutuhan mereka tidak hanya menyangkut persoalan kebutuhan akademik tetapi juga kebutuhan-kebutuhan lain seperti refreshing, konsumsi pangan, dan kegiatan-kegiatan diluar akademik yang menunjang pengembangan diri mereka. Mereka pun akhirnya memilih untuk tidak terlalu banyak beraktivitas diluar dan menghabiskan waktu hanya di asrama.
Dari berbagai permasalahan yang dijabarkan diatas, saya dan teman-teman yang berasal dari Papua berharap agar kejadian ini menjadi perhatian bagi pemerintah, khususnya UP4B yang dibawahi pemerintah pusat selaku penyelenggara program ini dan pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat. Program ini pada dasarnya berguna untuk meningkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan msyarakat Papua kedepannya. Akan sangat disayangkan apabila benih-benih yang ditabur ini pada layu sebelum mekar hanya karena persoalan-persoalan yang sebenarnya bisa diantisipasi sejak dini. Persoalan ini mungkin tidak hanya terjadi di Makassar saja namun kiranya tulisan ini dapat memberikan informasi bagaimana fakta di lapangan berbicara dan bagaimana curahan teman-teman ADIK Papua yang sedih melihat teman-teman lainnya harus meninggalkan mereka. Pesan khusus kepada para penerima ADIK Papua untuk tetap semangat menghadapi segala tantangan yang ada dengan mengedepankan tujuan bahwa mereka adalah utusan-utusan yang terpilih untuk memajukan tanah Papua tercinta. Tuhan menyertai kalian.

                                                                                           
Gabriel Clinton M.
(Penulis merupakan mahasiswa

 Akuntansi Universitas Hasanuddin)

0 komentar :

Posting Komentar